LiputanPeristiwa.com Jakarta – Dormiunt aliquando leges, nunquam moriuntur, hukum terkadang tidur, tetapi hukum tidak pernah mati. Adagium ini
menginspirasi Ketua Umum Himpunan Advokat Indonesia (HAPI), Enita Adyalaksmita, S.H., M.H., mengatakan setelah melalui perdebatan dan penantian yang sangat panjang l/k 17 tahun,
akhirnya DPR RI mensahkan RUU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual) menjadi UU TPKS pada Selasa 12 April 2022 kemarin, melalui sidang ke-19 pada masa persidangan ke IV tahun sidang 2021-2022, di gedung parlemen, Senayan Jakarta Selatan yang dipimpin oleh ketua DPR, Puan Maharani. Dan Enita Adyalaksmita, S.H., M.H., sangat mengapresiasi dan menyambut baik, pengetokan palu atas RUU TPKS menjadi UU TPKS oleh ketua DPR RI tersebut.
Willy Aditya, selaku wakil ketua badan legislasi (Baleg) DPR, merangkap Ketua Panitia Kerja RUU TPKS, mengatakan bahwa beleid TPKS tersebut terdiri dari 93 Pasal dan 8 Bab, pembahasan dilakukan secara marathon dan intensif dan melibatkan
partisipasi publik secara meluas, sedikitnya 120 kelompok masyarakat sipil diterima dan dilibatkan dalam proses penyusunan
RUU TPKS tersebut. Enita mengatakan bahwa ini merupakan contoh kerjasama yang sangat baik antara masyarakat sipil, pemerintah dan perlemen dalam menghasilkan sebuah UU.
Ketum HAPI sangat mengapresiasi komitmen politik pemerintah, DPR, Akademisi, para pendamping korban, berbagai organisasi masyarakat sipil, terutama korban kekerasan seksual dan partisipasi publik yang sangat besar terhadap pengawalan RUU TPKS tanpa lelah sedikitpun, sebagaimana adagium hukum yang mengatakan, “Fiat justitia ruat coelum atau fiat justitia pereat mundus, artinya sekalipun esok langit akan runtuh, meski dunia akan musnah, atau walaupun harus mengorbankan kebaikan, keadilan harus tetap ditegakkan”. Agaknya ini merupakan penyemangat para pejuang RUU TPKS hingga disahkan menjadi UU, hal ini sejalan dengan keinginan Presiden Joko Widodo untuk menindak tegas pelaku kekerasan seksual yang semakin massif terjadi akhir-akhir ini dan merupakan fenomena puncak gunung es.
Beleid yang ada pada UU TPKS ini fokus pada komitmen dan kehadiran pemerintah untuk menghukum keras pelaku tindak kekerasan seksual, yang juga memberi perhatian besar kepada korbannya, antara lain:1. UU ini berpihak dan berperspektif kepada korban kekerasan seksual,
2. UU ini merupakan payung hukum dan legal standing kepada para aparat penegak hukum dalam penanganan kasus kekerasan
seksual yang selama ini belum diatur,
3. Membuktikan kehadiran negara dengan memberikan perlindungan kepada korban kekerasan seksual yang selama ini kita sebut merupakan puncak gunung es dan merupakan kejahatan yang sangat serius atau “the most serious crime”,
4. Memberikan jawaban atas adanya ambiguitas selama ini, terkait tanggung jawab dan kehadiran negara terhadap korban kekerasan pada saat pelaku tidak memiliki harta guna pemenuhan hak restitusi korban melalui dana kompensasi atau dana bantuan pemulihan korban (victim trust fund). Dan
pelaku tetap menjalani hukumannya selama negara menanggung kompensasi bagi korban kekerasan seksual tersebut. Victim
trust fund ini merupakan jawaban atas pertanyaan besar (magna quaestio) selama ini dan penantian serta harapan korban, perempuan Indonesia, dan anak-anak Indonesia untuk bebas dari ketidak pastian akan perlindungan hak-hak korban paska tindak pidana yang dilakukan oleh para predator seksual.
Enita menyebutkan muatan UU TPKS yang baru disahkan ini, secara garis besar juga memuat adanya:
1. Perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas korban kekerasan seksual,
2. Memasukkan beberapa bentuk tindak pidana kekerasan seksual yang terdapat pada Pasal 4 ayat (1) yaitu: pelecehan seksual non-fisik, pelecehan seksual fisik,
pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual,
perbudakan seksual, kekerasan seksual berbasis elektronik,
3. Juga memasukkan bentuk-bentuk tindak pidana lainnya yang termuat pada Pasal 4 ayat (2), berupa: perkosaan, perbuatan cabul, persetubuhan, perbuatan cabul, eksploitasi seksual terhadap anak, perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban, pornografi yang melibatkan anak atau pornografi yang
secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual, pemaksaan pelacuran, perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual, kekerasan seksual
dalam lingkup rumah tangga, pencucian uang yang asalnya merupakan tindak pidana kekerasan seksual dan tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
4. Memasukkan peran lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat dalam proses pendampingan dan perlindungan korban kekerasan seksual,
5. Mewajibkan aparat penegak hukum untuk menggelar penyidikan dan proses hukum lain tanpa menimbulkan trauma bagi korban. Mengatur ketentuan yang melarang pelaku untuk mendekati korban dalam jarak dan waktu tertentu selama berlangsungnya proses hukum. Ketentuan ini merupakan ujung tombak keselamatan dan keamanan
korban agar tidak harus melarikan diri dari pelaku,
6. Mengatur ketentuan hak korban, keluarga korban, saksi, ahli dan pendamping, guna memastikan pemenuhan hak korban dalam mendapatkan keadilan dan pemulihan,
sekaligus memberikan perlindungan bagi keluarga, saksi, ahli dan pendamping korban.
KETUM HAPI, Enita berpendapat bahwa tidak dimasukkannya tindak pidana perkosaan pada UU TPKS yang baru ini, karena sudah
diatur dan telah tercakup dalam UU KDRT, UU Perlindungan Anak, ITE dan lainnya guna menghindari pengulangan atau over lapping pada UU TPKS yang baru ini, jadi tidak ada penghilangan pasal pada UU ini karena muatan naskah UU ini sepenuhnya adalah barubukan tambal sulam.
Komitmen pemerintah terkait keadilan gender dan perlawanan terhadap kekerasan seksual, jelas telah dilakukan sejak diratifikasinya CEDAW, Inpres 2000, hingga kontekstualisasi amanat SDGs 2030 yang dituangkan dalam RPJMN 2020-2024, tutur
Enita.
Menurut Enita, semangat kesetaraan gender dalam UU TPKS dilihat dari asas penghargaan harkat martabat manusia, prinsip non-diskriminasi, dan prinsip perlindungan bagi korban dan jaminan keadilan bagi korban, keluarga, ahli, saksi dan pendamping korban.
Ditengah adanya labelisasi “negara darurat kekerasan seksual” sekarang ini, Enita KETUM HAPI berharap:
Pertama, ada terobosan hukum untuk mengatur penjatuhan hukuman seberat-beratnya pada pelaku dan melakukan upaya pencegahan segala bentuk kekerasan seksual secara massif,
contoh: vonis hukuman mati yang dijatuhkan pada Herry Wirawan(36 tahun) predator seksual yang merudapaksa 13 santriwatinya di Cibiru, Bandung sudah sangat tepat pada putusan banding di PT Bandung. Berdasarkan fakta persidangan yang ada, sudah semestinya majelis hakim PN Kls.1A Bandung dalam memutus perkara
Nomor : 989/Pidsus/2021/PN.Bdg, berani menjatuhkan hukuman mati dengan segala pemberatan (mengabulkan tuntutan JPU) bukan dengan vonis hukuman “seumur hidup”. Karena perilaku HW sangat bejad,
dilakukan berulang (selama l/k 5 tahun), dijadikan budak seks, dijadikan kuli, melakukan intimidasi, menjadikan anak-anak hasil rudapaksa untuk lahan binisnya (dengan mengatakan anak-anak yatim dengan meminta bantuan dana kepada pihak ketiga), locus delictinya berbeda-beda, sistemik, menggunakan symbol agama, kemiskinan, diskriminasi gender untuk menipu dan memperdaya anak dibawah umur yang nota bene muridnya untuk belajar agama bahkan melahirkan anak pula. Semuanya dilakukan by grand design yang sangat rapi dan tersistem, atau dengan kata
lain kejahatan ini sangat serius (“the most serious crime”). Jadi vonis hukuman mati terhadap HW ini tidak bertentangan dengan prinsip hukum positif yang berlaku di Indonesia dan prinsip HAM;
Kedua, adanya penanganan, perlindungan dan pemulihan korban; Ketiga, penegasan dalam pelaksanaan penegakan hukum dan
rehabilitasi pelaku kekerasan seksual; Keempat, adanya upaya yang masif yang dilakukan untuk mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual pada perempuan dan anak terkhusus di sekolah-sekolah yang memakai label Agama tertentu dan yang berbasis asrama yang sangat marak akhir-akhir ini, agar tidak terjadi pengulangan kasus yang sama ditengah-tengah masyarakat, disegala tempat.
Ketum HAPI, Enita mengatakan sangat dibutuhkan political-will (niat politik) dari pemerintah, aparat penegak hukum, masyarakat dan semua pemangku kepentingan, agar dapat bersinergi
untuk mengimplementasikan beleid (aturan) yang terkandung pada UU TPKS yang baru, guna tercapai tujuannya untuk keadilan korban kekerasan seksual serta memuliakan perempuan dan anak Indonesia. Karena ada adigium mengatakan: “Salus populi suprema lex” artinya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat adalah hukum yanm tertinggi dalam suatu negara, maka Justitiae non est neganda, non differenda, Keadilan tidak dapat disangkal atau ditunda lagi.
Selamat bagi perempuan dan anak-anak Indonesia, yang telah mendapat pengakuan akan kesamaan hak (kesetaraan gender)
dihadapan hukum (equality before the law), dan pengakuan akan hak-haknya pada UU TPKS yang baru lahir ini, sehingga dapat
menuntut dan memperolehnya atau memperbaikinya jika hak itu dilanggar (ubi jus ibi remedium). Akhir kata, kami seluruh
advokat yang tergabung didalam organisasi Himpunan Advokat Indonesia (HAPI), mengucapkan “APA YANG ADIL DAN BAIK ADALAH HUKUMNYA HUKUM (Equum et bonum est lex legum)”, tutup Enita.**(H/red)